“عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وِآلهِ وَسَلَّمَ : “اَلْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللهِ”.
Syaddad bin Aus r.a. berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Orang cerdas adalah yang menghisab (introspeksi) dirinya serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang lemah adalah yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah SWT.” (HR. Tirmidzi. Ia berkata: “Hadits ini hadits hasan” ) .
Kandungan Hadits
Hadits di atas menjelaskan, kehidupan dan kesuksesan hakiki adalah di akhirat dan keberuntungan untuk selama-lamanya bagi mereka yang mendapatkan kemuliaan dari Allah SWT untuk memasuki surga-Nya, kemudian merasakan berbagai kenikmatan yang belum pernah dirasakan selama hidup di dunia.
Hidup di dunia merupakan rangkaian misi besar seorang hamba, yaitu menggapai ridha Allah SWT. Dalam menjalankan misi tersebut, seseorang tentunya harus memiliki visi, perencanaan, strategi, serta pelaksanaan yang jelas dan baik, lalu diiringi dengan muhasabah (introspeksi).
Hal terakhir (muhasabah) merupakan pembahasan utama yang dijelaskan Rasulullah SAW dalam hadits tersebut di atas. Bahkan, dengan jelas Rasulullah SAW mengaitkan muhasabah dengan kesuksesan, sedangkan kegagalan terkait erat dengan mengikuti hawa nafsu dan banyaknya angan-angan.
Istilah muhasabah atau introspeksi sangat populer di telinga kita. Istilah itu sering terdengar di setiap penghujung akhir tahun Hijriyah ataupun Masehi. Alhamdulillah, nampaknya banyak orang mulai sadar lalu melakukan muhasabah : sejauh mana amaliah yang ia lakukan selama setahun lalu?
Sebenarnya, muhasabah tidak terikat dengan akhir tahun. Kapan pun, setelah kita melaksanan aktifitas atau amaliah ibadah, maka kita hendaknya gemar untuk bermuhasabah diri.
Saat sendiri atau menyendiri, pernahkah kita bermuhasabah diri? Perkataan apa yang pernah keluar dari mulut kita? Perbuatan apa yang pernah kita lakukan? Apakah kita pernah dengan “bangga” menghitung-hitung keburukan atau kesalahan yang pernah kita lakukan, seperti halnya kita bangga menghitung amal baik kita?, terkadang lalat nun jauh di sana dengan jelas bisa kita lihat sendangkan gajah di depan mata nampak sulit untuk dilihat.
Apakah segala amaliah ibadah yang pernah kita lakukan sudah memenuhi standar ikhlas karena Allah SWT semata atau malah sebaliknya kita selalu ingin dipuji dan ingin dilihat dan didengar orang (riya dan sum’ah)? Bagaimanakah jika nanti kita datang menuju dan menghadap Allah SWT dengan memikul beban dosa dan kesalahan tak terhingga?
Allah SWT berfirman:
“يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللهَ، إِنَّ اللهَ خَبِيْرٌ بِمَا تَعْمَلُوْنَ، وَلاَ تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ نَسُوا اللهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُوْنَ”.
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan hendaklah tiap-tiap diri melihat dan memerhatikan apa yang ia telah sediakan (dari amal- amalnya) untuk hari esok (hari akhirat). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Amat Meliputi Pengetahuan-Nya atas segala yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang telah melupakan (perintah-perintah) Allah, lalu Allah menjadikan mereka melupakan (amal-amal yang baik untuk menyelamatkan) diri mereka. Mereka itulah orang-orang yang fasik (durhaka)” (Q.S. Al-Hasyr/59: 8-19).
“اَلْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَى أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيْهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ”.
“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan” (Q.S. Yasin/36 : 65)
Umar bin Khattab r.a. berkata :
“حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوْا وَتَزَيَّنُوْا لِلْعَرْضِ الأَكْبَرِ وَإِنَّمَا يَخِفُّ الْحِسَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى مَنْ حَاسَبَ نَفْسَهُ فِى الدُّنْيَا”.
“Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab dan berhias dirilah kalian untuk menghadapi pengungkapan yang besar (hisab). Sesungguhnya hisab pada hari kiamat akan menjadi ringan hanya bangi orang yang selalu menghisab dirinya saat hidup di dunia.”
Suatu hari Umar bin Khattab r.a. menulis surat kepada para bawahannya:
“حَاسِبْ نَفْسَكَ فِي الرَّخَاءِ قَبْلَ حِسَابِ الشِّدَّةِ، فَإِنَّ مَنْ حَاسَبَ نَفْسَهُ فِي الرَّخَاءِ قَبْلَ الشِّدَّةِ، عَادَ أَمْرُهُ إِلىَ الرِّضَا وَالْغِبْطَةِ، وَمَنْ أَلْهَتْهُ حَيَاتُهُ، وَشَغَلَتْهُ أَهْوَاؤُهُ عَادَ أَمْرُهُ إِلَى النَّدَامَةِ وَالْخَسَارَةِ”.
“Hisablah diri kalian di saat senang (lapang) sebelum datang keadaan sulit, karena sesungguhnya orang yang menghisab dirinya saat senang sebelum tiba masa kesulitan, maka dia akan menghadapi urusannya dengan ridha dan iri yang baik. Dan barangsiapa yang dilalaikan dengan kehidupannya, disibuki dengan hawa nafsunya, maka dia akan mengalami penyesalan dan kerugian”.
Imam Hasan Al-Bashri salah seorang Tabi’in senior berkata:
“Seorang Mukmin adalah pemimpin bagi dirinya. Dia senatiasa bermuhasabah diri karena Allah. Sesungguhnya pada hari kiamat nanti hisab akan menjadi ringan terhadap orang-orang yang telah bermuhasabah diri di dunia… Dan sesungguhnya pada hari kiamat hisab akan menjadi amat berat terhadap orang-orang yang mengerjakan semua urusannya tanpa didahului dengan bermuhasabah diri.”
Dua Waktu untuk Muhasabah
Pertama, muhasabah sebelum melakukan suatu pekerjaan atau aktivitas ibadah. Seorang Mukmin harus berpikir sejenak, apakah yang akan dia kerjakan akan mendatangkan manfaat, baik buat dirinya maupun orang lain, atau malah sebaliknya?
Sering kali ketika dia ingin melakukan sesuatu didasari kuat oleh dorongan emosional yang tinggi, lalu tanpa perhitungan matang langsung menerobos masuk ke suatu pekerjaan tersebut dan berkahir pada penyesalan yang amat mendalam.
Imam Hasan Al-Bashri berkata:
“Semoga Allah merahmati seorang hamba yang merenung sesaat sebelum mengerjakan sesuatu. Apabila pekerjaannya tersebut bernilai karena Allah, maka lakukanlah, dan apabila sebaliknya, maka tinggalkanlah”.
Kedua, muhasabah setelah melakukan pekerjaan atau aktivitas ibadah, yaitu bermuhasabah diri atas segala perintah Allah SWT dan Rasul-Nya yang hak-hak-Nya sudah banyak kita lalaikan.
Muhasabah diri juga diperlukan atas segala perbuatan yang mubah atau yang sudah biasa dilakukan (menjadi kebiasaan): Kenapa selalu dilakukan? Apakah aktivitas tersebut dilakukan dengan mengharapkan ridha Allah SWT? Kalau demikian, beruntunglah dia, karena segala hal yang mubah bila mana dikerjakan dengan niat untuk beribadah dan mengharapkan ridah Allah SWT semata maka hal tersebut akan bernilai ibadah. Jika hanya mengharapkan kehidupan dunia, maka merugilah dia dan selamanya tidak akan sukses dalam arti yang sebenarnya –yaitu terhindar dari adzab api neraka dan masuk ke dalam surga-Nya.
Allah SWT berfirman :
“…فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازََ”.
“Sesungguhnya orang yang dihindarkan dari adzab api neraka dan dimasukkan ke surga, sungguh dia telah sukses” (Q.S. Ali ‘Imran/3:185).
Akihirnya, sudahkah kita termasuk orang yang gemar bermuhasabah diri, tanpa harus menunggu berakhirnya tahun, baik tahun hijriyah atau masehi? Apakah kita akan termasuk orang yang terlambat bermuhasabah karena ajal menjemput kita? Na’udzu billah. Wallahu a’lam bish-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar